Senin, 20 April 2015
Senin, 13 April 2015
MEMBANGUN LEARNING TRAJECTORY
MEMBANGUN LEARNING TRAJECTORY
Diriku yang akan dan
sedang membangun learning trajectory
Learning
trajectory yang pada akhirnya akan menuju kepada Teaching trajectory memiliki 4
dimensi, yaitu dimensi material (menurut konteks dan kontennya), dimensi formal
(dokumen resmi), dimensi normatif, dan dimensi
spiritual.
1.
Dimensi spiritual
Dalam dimensi spiritual
dibedakan menjadi 3, yaitu :
a.
Syariat
b.
Hakikat, dan
c.
Makrifat
2.
Dimensi normatif
Dalam dimensi
normatif disini learning trajectory
ditinjau dari filsafatnya. Ditinjau dari filsafatnya terdiri dari 3 bagian,
yaitu berdasarkan hakikat (makna), metode, dan etik dan estetik
a.
Berdasarkan hakikatnya dibedakan
menjadi dua yaitu wadah dan isi. Tiada wadah yang tanpa isi, dan tidak ada isi
yang tidak mempunyai wadah. Kadang wadah terlihat kosong padahal berisi,
seperti botol terlihat kosong padahal botol tersebut berisi udara. Hakikat
learning trajectory dapat dilihat dari teori-teori pendidikan yang ada.
Misalnya dilihat dari teori Piaget tentang tingkat perkembangan anak, ditinjau
dari teori perkembangan Bruner, yang terdiri dari 3 tahap yaitu, enaktif,
ikonik dan simbolik, bisa juga ditinjau dari teori Vygotsky, yaitu tentang ZPD
(zone of proximal development) dimana peran guru disini adalah memfasilitasi
anak agar dapat mencapai tugas perkembangannya. Dapat digambarkan bahwa jika
wadah itu kita anggap sebagai sintak dan isi sebagai kategori, maka yang ada di
dalam kedua hal tersebut adalah pengetahuan. Pengetahuan tentang bagaimana
siswa berpikir. Dalam kategori di situ digambarkan sejauh mana siswa dapat
belajar menurut teori perkembangan Piaget, dalam membelajarkan siswa
menggunakan tahap-tahap menurut teori Bruner dan sebagainya. Sedangkan dalam
sintak, sintak dapat dibagi dalam beberapa tahap, mulai dari PAUD, TK, SD, SMP,
SMA, PT, Orang tua. Ditinjau dari berbagai teori belajar yang ada akan
didapatkan pengetahuan tentang bagaimana anak PAUD belajar, bagaimana anak TK
belajar, bagaimana anak SD belajar, bagaimana anak SMP belajar, bagaimana anak
SMA belajar, bagaimana mahasiswa belajar, bagaimana orang tua belajar. Dengan
mengetahui tentang bagaimana mereka belajar diharapkan guru dapat menerapkan
metode yang tepat dalam membelajarkan mereka. Dengan mengyahui
tiingkatan-tingkatan yang ada guru dapat menentukan matematika yang bagaimana
yang bisa diterapkan untuk anak PAUD,
TK, SD, SMP, SMA, PT dan orang tua. Untuk hakikat isi, pembelajaran matematika
yang dapat diterapkan di Indonesia, terutama di Jawa sesuai dengan falsafah Ki
Hadjar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Yang artinya bahwa peran guru itu jika di depan memberi contoh, jika di tengah
menjadi teman atau partner siswa, dan jika di belakang memberi dorongan atau
semangat kepada siswanya.
b.
Metode
Dengan adanya teori-teori belajar yang ada dan kategori-kategori serta
tingkatan yang ada dalam pendidikan, diharapkan guru dapat menerapkan metode
yang tepat dalam membelajarkan matematika pada setiap tingkat perkembangan dan
setiap kategori peserta didiknya. Guru dapat menggunakan bermacam-macam metode
mengajar. Misalnya saintifik, problem based learning, realistik, dll. Dengan
adanya metode-metode tersebut diharapkan dapat membelajarkan matematika setiap
kategori peserta didik dengan tepat. Metode apa yang tepat digunakan untuk
membelajarkan matematika pada anak SD sesuai dengan tahap perkembangannya,
metode apa yang tepat untuk membelajarkan mmatematika untuk anak SMP dan
seterusnya. Semua itu dapat kita dapatkan dengan menggunakan
referensi-referensi yang ada.
c.
Etik estetik
Dalam etik estetik ini terdapat paradigma pembelajaran.
Paradigma-paradigma yang berlaku di masyarakat, paradigma guru, paradigma
sekolah, dll. Semua itu akan mempengaruhhi cara pandang guru dalam
membelajarkan matematika kepada anak didiknya. Paradigma-paradigma yang salah
harus diluruskan agar menjadi benar. Guru harus mengikuti paradigma yang benar
dan mempertahankannya jangan sampai tergoda untuk mengikuti paradigma yang
salah dan telah umum digunakan.
Dalam dimensi normatif dalam learning trajectory ini terdapat buku,
makalah, penelitian, jurnal yang kesemuanya itu merupakan referensi bagi guru
dalam membelajarkan matematika di SD. Banyak teori-teori belajar yang bisa kita
pakai untuk membelajarkan anak didik kita di sekolah. kita bisa menggunakan
teori belajar dari Bruner yang terdiri dari 3 tahap, yaitu enaktif, ikonik, dan
simbolik. Kita bisa melihat bagaimana siswa melalui tahap-tahap itu. Pendekatan
pembelajaran yang tepat menurut teori Bruner seperti apa. Denga teori dari Bruner
ini kita dapat menerapkan matematika realistik kepada anak SD. Kita juga bisa menggunakan teori perkembangan
Piaget, pada anak umur sekian bagaimana membelajarkan mereka dll. Bagi kita
yang guru SD kita jadi mengetahui bahwa pada umur sekian anak SD itu masih berada
dalam tahap operasional konkrit yang artinya mereka masih membutuhkan contoh
konkrit atau nyata dalam pembelajaran. Juga masih ada lagi teori dari Vygotsky
dengan ZPD nya dan masih banyak lagi. Semua referensi itu akan membuat kita
sebagai guru menjadi kaya akan pengetahuan dan pengalaman untuk kemudian kita
terapkan di dalam pembelajaran kita di sekolah. Secara filsafat normatif di
sini berkaitan dengan metode dan etik estetik. Jadi guru dapat menggunakan
bermacam-macam metode mengajar. Misalnya saintifik, problem based learning,
realistik, dll. Dengan adanya metode-metode tersebut diharapkan dapat
membelajarkan matematika setiap kategori peserta didik dengan tepat. Metode apa
yang tepat digunakan untuk membelajarkan matematika pada anak SD sesuai dengan
tahap perkembangannya, metode apa yang tepat untuk membelajarkan matematika
untuk anak SMP dan seterusnya. Semua itu dapat kita dapatkan dengan menggunakan
referensi-referensi yang ada.
Bersifat
rutin (fatal)
Vital
Vital
Hermeneutika learning trajectory oleh dirimu
masing-masing dalam kebersamaan
3.
Dimensi formal (dokumen resmi)
Dimensi
formal disini terdiri dari peraturan yang berlaku dalam bidang pendidikan.
Dimulai dari UUD 1945, yang diturunkan ke dalam Undang-Undang. Undang-Undang
diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah diturunkan lagi
ke dalam Peraturan Menteri. Menteri kemudian membuat kurikulum, dan di dalam
kurikulum tersebut terdapat perangkat pembelajaran yang terdiri dari silabus,
RPP, LKS dan lain-lain. Kesemuanya itu harus kita eksplorasi dan kita
kembangkan sendiri agar pembelajaran yang ada di sekolah kita menjadi semakin
kaya dan dapat menggali potensi sekolah serta potensi diri siswa. Dengan adanya
eksplorasi terhadap perangkat pembelajaran yang ada kita sebagai guru akan
menjadi semakin kreatif dalam mengembangkan perangkat pembelajaran yang akan
sangat berguna dalam pembelajaran kita di sekolah. Dengan adanya kesemuanya itu
kita akan tahu kedudukan kita sebagai guru dan kedudukan murid kita.
Dengan mengetahui kedudukan murid kita
sebagai subjek atau pelaku pembelajaran kita sebagai guru akan tahu bagaimana
membelajarkan anak didik kita tersebut. Kita tidak akan memaksakan mereka
mengetahui pengetahuan seperti pengetahuan yang kita punya sebagai guru, tetapi
kita akan membimbing dan memfasilitasi mereka agar membangun sendiri
pengetahuannya sebagi bekal hidup mereka ke depannya nanti. Kita bisa
mengembangkan semua itu dengan melalui dua cara, yaitu dengan cara mengkaji
teori dan praktik.
Mengkaji
teori dapat kita lakukan dengan membaca teori-teori tentang pembelajaran, teori
tentang perkembangan peserta didik, dll. Dengan mengkaji teori kita akan mendapatkan
berbagai macam masukan tentang bagaimana kita megajar, bagaimana metode
pembelajaran yang dapat diterapkan, bagaimana menerapkan metode tersebut pada tingkatan anak yang berbeda.
Bagaimana meningkatkan metode tersebut dengan berbagai macam karakteristik
peserta didik kita. Dengan mengkaji teori kita juga akan mendapat banyak hal
baru yang bisa kita terpkan tentang bagaimana membelajarkan matematika di
sekolah.u belum. Apakah pembelajaran yang kita terpkan menyenangkan bagi anak
didik atau tidak. Apakah pembelajaran yang kita berikan sudah sesuai dengan kebutuhan
mereka. Apakah dalam membelajarkan matematika perlu menggunakan media
pembelajaran, dll. Apakah pembelajaran
yang kita terpkan kepada anak didik kita sudah tepat. Dengan mengkaji teori
kita akan menjadi ahli mengembangkan perangkat pembelajaran yang disesuaikan
dengan perkembangan anak didik kita. Selain dengan mengkaji teori,
mengembangkan pembelajaran dapat juga dilakukan dengan cara praktik. Praktik
dapat kita bedakan menjadi dua juga, yaitu praktik langsung dan praktik tidak
langsung. Praktik langsung kita terapkan kepada anak didik kita, di situ akan
terjadi interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan guru begitu
seterusnya. Dadri interaksi yang terjadi itu guru akan mendapat pengetahuan dan
dapat mengambil kesimpulan bagaimana mengembangkan pembelajaran yang baik,
menarik dan bermakna bagi anak didik mereka. Dengan melakukan praktik langsung
guru akan dapat menganalisis apakah pembelajaran yang diterapkan sudah pas atau
belum. Sedangkan praktik tidak langsung dapat kita lakukan dengan cara micro
teaching/simulasi dan dengan melalui melihat video pembelajaran. Praktik tidak
langsung dengan simlasi dapat kita lakukan dengan teman-teman guru kita. Dari
praktik tersebut kita akan mendapat masukan dari guru lain tentang pembelajaran
kita. Apakah sudah sesuai atau belum, apakah masih bisa ditambah atau ada yang
harus dikurang dan masukan-masukan lain yang sangat berguna bbagi kita sebagai
guru dalam melakukan pembelajaran di kelas. Sedangkan praktik tidak langsung
dapat kita lakukan dengan melihat video pembelajaran yang dapat memperkaya
pembelajaran kita. Misalnya seperti yang sudah kita lakukan dengan melihat
video pembelajaran yang ada di Jepang tentang bagaimana membelajarkan
matematika dengan bab perkalian di sekolah. dari video tersebut kita dapat
mengambil contoh bagaimana melaksnakan pembelajaran matematika yang baik. Bagaimana untuk
memancing keaktifan siswa. Bagaimana cara yang dilakukan guru untuk
membelajarkan pokok bahasan tersebut. Bagaimana media dibuat oleh guru dan
dimaksimalkan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan anak dalam pokok
bahasan tersebbut. Dengan melihat video pembelajaran yang ada kita dapat
melakukan perbandingan dengan cara kita memmbelajarkan anak didik kita. Apakah
kita sudah melakukan hal tersebut atau belum. Apakah kita juga membuat media
untuk membelajarkan pokok bahasan tersebut. Video pembelajaran dapat kita
gunakan untuk merefleksi pembelajaran kita sendiri. Video pembelajaran dapat
kita jadikan sarana untuk memperbaiki diri dalam membelajarkan anak didik kita.
Dengan melihat video pembelajaran paling tidak kita mempunyai wawasan baru
tentang bagaimana membelajarkan siswa. Dengan melihat video pembelajaran kita
akan lebih bisa melihat kedudukan siswa
kita sebagai subjek belajar dan bukan objek belajar. Bahwa anak didik kita
mungkin memang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi memang sperti itulah
kedudukan anak didik kita. Jadi kita bisa mengatakan jika anak didik kita
keliru maka hal itulah yang benar.
4.
Dimensi material (menurut konteks
dan kontennya)
Dimensi material terjadi
sesuai dengan ruang dan waktu. Terdiri dari perangkat pembelajaran, lingkungan
(budaya), dan fisik (artefak). Perangkat
pembelajaran harus digali melalui penelitian. Penelitian yang dilakukan bisa
dilakukan melalui study kasus, ataupun melalui PTK. Selain itu perangkat pembelajaran dapat kita gali melalui
data, fenomena, dan pengalaman guru dalam menerapkan pembelajaran di sekolah
masing-masing. Data dapat kita peroleh dari anak didik kita melalui pembelajaran yang kita lakukan.
Fenomena-fenomena
Setinggi-
tingginya ilmu adalah sopan dan santun kepada ruang dan waktu. Tetapi jarang
ada orang yang bisa mencapainya karena keterbatasan manusia sebagai makhluk
yang sempurna. Sebenar-benarnya hidup adalah kesempurnaan di dalam ketidaksempurnaannya.
REVIEW TEORI DAN PETA KONSEP
MEMBANGUN LEARNING TRAJECTORY
Makalah Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Learning Trajectory
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit,
MA
Disusun Oleh :
SUMANDITA NOVIANI 14712259013
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
REVIEW
TEORI BELAJAR
a. Behaviorism
approach
Prinsip-prinsip
behavioristik dan aplikasinya pada management kelas menurut Jeane Ellis Ormrod
(2009: 423):
1.
Pengaruh lingkungan
Perilaku
seseorang dihasilkan dari pengalaman mereka dengan stimulus-stimulus
lingkungan. Maka guru harus mampu
-
Kembangkan lingkungan
kelas yang membuat siswa merasa betah baik secara fisik maupun secara
psikologis.
-
Menciptakan lingkungan
kelas yang mendukung perilaku siswa yang diinginkan, seperti: memberikan umpan
balik positif, pujian-pujian, kegiatan-kegiatan kelas yang menyenangkan, atau
dengan memutarkan lagu-lagu ketika jam istirahat.
2.
Fokus pada peristiwa
yang dapat diamati (stimulus dan respon)
Belajar
dapat terjadi karena adanya asosiasi stimulus dan respon. Aplikasinya dalam
management kelas yaitu
-
Identifikasilah
stimulus khusus termasuk tindakan guru yang dapat mempengaruhi siswa. Jika ada
perilaku siswa yang menganggu di kelas, pikirkanlah apakah perilaku guru
mungkin mendorong munculnya perilaku tersebut.
-
Tidak memberikan
penguatan pada perilaku-perilaku yang tidak diinginkan.
-
Guru memasukkan
kegiatan yang menyenangkan namun mendidik dalam jadwal pelajaran sebagai cara
guru membantu siswa mengasosiasikan materi pelajaran dengan perasaan
menyenangkan.
-
Guru harus membentuk
lingkungan kelas dimana stimulus-stimulus termasuk perilaku guru sendiri dapat
menimbulkan respon-respon positif seperti kesenangan atau relaksasi pada siswa
bukan ketakutan atau kecemasan.
-
Ketika anak mengaitkan
(asosiasi) sekolah dengan kondisi-kondisi yang menyenangkan maka akan cepat
belajar bahwa sekolah adalah tempat yang mereka inginkan.
-
Sebaliknya ketika siswa
berjumpa pada stimulus-stimus negatif yang tidak menyenangkan, seperti
penghinaan di depan orang banyak, komentar negatif, atau frustasi yang terus
menerus maka mereka akan belajar untuk tidak menyukai dan takut pada mata
pelajaran tertentu, guru tertentu, kegiatan tertentu, atau bahkan sekolah
secara umum.
3.
Belajar sebagai
perubahan perilaku
Belajar
terjadi ketika siswa menampilkan perubahan dalam performa di kelas. Guru harus
memberikan kesempatan kepada siswa yang ingin mengungkapkan ide gagasannya
dengan tersenyum dan menyebutkan namanya, beri kesempatan kepada siswa untuk
mempraktikkan perilaku-perilkau yang diinginkan, misalnya mendeklamasikan
puisi, bernyanyi, dsb. Ketika perilaku yang telah diinginkan telah terjadi
pembentukan (shapping) maka kurangi
penguatan-penguatan secara bertahap agar terjadi pergeseran motivasi ekstrinsik
ke motivasi instrinsik.
4.
Kontinuitas kejadian
Belajar
terjadi ketika stimulus dan respon muncul dalam waktu yang bersamaan
(kontiguitas) kejadian. Maka jika ingin siswa menghubungkan dua kejadian
(stimulus-respon) maka kejadian tersebut harus terjadi dalam waktu bersamaan.
Aplikasinya dalam pendidikan:
-
Beri umpan balik
positif segera setiap kali siswa menampilkan
perilaku yang diinginkan atau
hasil belajar yang baik.
5.
Kesamaan prinsip
pembelajaran di semua spesies.
Penelitian
dengan spesies nonhuman seringkali
memiliki relevansi dengan praktik di dalam
kelas kerena ada beberapa hal yang sama terkait cara-cara belajar.
Aplikasinya dalam management kelas misalnya:
-
Beri penguatan (reinforcement) pada siswa hiperaktif apabila
secara berturut-turut dapat duduk dengan tenang dalam periode waktu yang lebih
lama.
-
Sebagai guru kita dapat
mengurangi respon terkondisi yang tidak produktif yang mungkin ditampilkan
siswa dengan menghilangkan reaksi emosional negatif terhadap stimulus
terkondisi dengan memperkenalkan stimulus itu secara perlahan-lahan dan
bertahap selagi siswa merasa rileks atau senang, contohnya: jika ada siswa yang
merasa takut terhadap soal atau materi matematika yang sulit, maka mulailah
kembali ke soal-soal yang lebih mudah yang mampu diselesaikan siswa dan secara
bertahap menaikkan tingkat kesulitannya begitu dia menunjukkan kompetensi dan
kepercayaan dirinya yang lebih baik.
Menurut B.F. Skinner
dalam Jeanne Ellis Ormrod (2008: 431) prinsip dasar kondisioning operant itu sederhana yaitu sebuah respon diperkuat
dan karenanya mungkin akan terjadi lagi ketika respon tersebut diikuti oleh
sebuah stimulus yang menguatkan (penguat).
Menurut Jeanne Ellis
Ormrod (2008: 432) kondisioning operant dapat terjadi hanya dalam dua keadaan:
1) pembelajar harus membuat respon yakni pembelajar harus melakukan sesuatu, 2)
Penguatan harus berdekatan (kontingen) dengan respon pembelajar yakni penguat
terjadi segera ketika respon yang diinginkan telah terjadi. Aplikasi kondisioning
operant dalam management di kelas :
- Siswa
akan belajar lebih banyak ketika mereka membuat respon yang aktif dan jelas di
kelas, bukan hanya duduk diam
mendengarkan penjelasan guru dengan pasif.
- Seorang
guru memberikan penguatan berdekatan (kontingen) dengan respon/perilaku yang
diinginkan dari siswa.
- Sebagai
guru, seharusnya memberikan penguatan pada perilaku-perilaku yang kita ingin
dimiliki siswa.
- Sebaliknya
guru harus berhati-hati untuk tidak memberikan penguatan pada perilaku-perilaku
yang tidak diinginkan atau tidak produktif yang ditampilkan siswa.
b. Social
kognitive approach (meliputi social cognitive approach, social approach, dan
social formation)
Bandura
(1986) mengembangkan dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang mengusulkan
bahwa orang-orang tidak didorong oleh kekuatan batin atau secara otomatis
dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Sebaliknya, fungsi manusia
dijelaskan dalam hal model determinisme timbal balik triadic. Dalam model ini,
yang dapat divisualisasikan sebagai sebuah segitiga sama sisi, perilaku,
kognitif dan faktor personal lainnya dan peristiwa lingkungan semua beroperasi
sebagai penentu berinteraksi satu sama lain. Sifat orang kemudian didefinisikan
dalam perspektif triadic ini.
Timbal balik merujuk pada aksi
saling sementara determinisme menandakan produksi efek. Karena banyaknya
berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda dapat
menyebabkan atau membantu efek yang berbeda.
Oleh karena
itu sifat orang yang muncul adalah unik meskipun semua orang didefinisikan
dalam tiga serangkai. Karena orang-orang memiliki diri capablilities direktif
mereka mampu melakukan kontrol yang signifikan atas pikiran mereka, perasaan
dan tindakan. Fungsi pengaturan diri ini merupakan bagian penting dari teori kognitif
sosial. Ada interaksi yang berkelanjutan antara diri-yang dihasilkan dan sumber
eksternal pengaruh. Orang membuat panduan untuk perilaku mereka, motivator diri
untuk kursus tindakan dan kemudian menanggapi perilaku mereka dengan cara
evaluatif diri. Sangat sering standar yang digunakan untuk menilai perilaku
didasarkan pada reaksi orang lain yang signifikan dengan perilaku ini.
Penelitian
atas mana teori ini terletak mengandung banyak sisi yang membantu menjelaskan
bagaimana orang memperoleh pengetahuan tentang perilaku sosial manusia yang
diperlukan agar dapat berfungsi. Salah satu aspek improtant pembelajaran sosial
manusia adalah modeling.
Modeling
Pada tahun
1963 Bandura dan Walters pertama kali menggunakan pembelajaran sosial jangka
untuk menunjukkan bahwa pembelajaran akan sangat membosankan jika orang harus
bergantung pada trial and error untuk belajar. Untungnya, sebagian besar
perilaku manusia dipelajari observasional melalui pemodelan.
Konseptualisasi
Bandura pemodelan jauh lebih komprehensif daripada sebelumnya dan berisi
ketentuan untuk mengembangkan pemikiran baru dan kreatif. Dia menyarankan kita
mengamati orang lain dan menyandikan informasi yang akan berfungsi sebagai
panduan untuk tindakan selanjutnya. Modeling adalah metode yang sangat efisien
pembelajaran sosial yang bisa dilakukan dialami sendiri, hanya melalui
pengamatan orang lain. Kelima jenis perilaku sosial yang dapat dipelajari dengan
cara ini adalah 1. keterampilan kognitif baru dan perilaku; 2. diperkuat atau
melemah hambatan dipelajari sebelumnya; 3. prompt sosial atau bujukan; 4.
bagaimana menggunakan lingkungan; 5. ketika menjadi terangsang dan apa reaksi
emosional untuk mengekspresikan. (Tuckman, 1992)
Teori
aktivitas adalah suatu gagasan yang pertama kali dikembangkan pada tahun
1920-an. Saat itu ada dua asumsi dasar yang ditetapkan gagasan Kegiatan Teori
(Miller, 2002):
1. Pengetahuan dimediasi melalui
penggunaan alat-alat dan artefak
'Kegiatan' 2. adalah unit dasar
analisis
Teori
aktivitas berteori bahwa ketika individu terlibat dan berinteraksi dengan
lingkungan mereka, mereka menyibukkan diri dengan produksi dan menggunakan
alat-alat untuk mendapatkan hasil. Alat ini "exteriorized" bentuk
proses mental dan sebagai proses mental ini berubah menjadi alat, mereka
menjadi lebih mudah diakses dan menular kepada orang lain. Hasil akhirnya
adalah bahwa dasar interaksi sosial didukung oleh kriteria eksternal (Fjeld et
al, 2002).
c. Cognitive
information processing
Proses informasi
kognitif, merupakan teori tentang proses penerimaan informasi kognitif. Salah
satunya dikemukakan oleh Etienne Wengeryang
menyajikan premis di belakang dasar-dasar teori kognisi terletak sebagai
berikut:
1.
Kami adalah makhluk sosial. Jauh
dari sepele benar, fakta ini merupakan aspek penting dari pembelajaran.
2.
Pengetahuan adalah masalah
kompetensi sehubungan dengan usaha dihargai, seperti menyanyi selaras,
menemukan fakta-fakta ilmiah, memperbaiki mesin, menulis puisi, yang ramah,
tumbuh sebagai anak laki-laki atau perempuan, dan sebagainya.
3.
Mengetahui adalah masalah
berpartisipasi dalam mengejar perusahaan tersebut, yaitu, keterlibatan aktif di
dunia.
4.
Arti - kemampuan kita untuk
mengalami dunia dan keterlibatan kami dengan itu bermakna - sebenarnya untuk
apa belajar adalah untuk menghasilkan (Wenger, 1998, hal.4, di Driscoll, 2005,
p.164).
d. Meaningful
learning
Pengertian Belajar Bermakna
Menurut
David P. Ausubel, ada dua jenis belajar :
1.Belajar
Bermakna (Meaningfull Learning)
Belajar dikatakan bermakna bila
informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Sehingga peserta didik menjadi kuat ingatannya dan transfer belajarnya mudah
dicapai. Struktur kognitif dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh
siswa.
2.Belajar
Menghafal (Rote Learning)
Bila struktur kognitif yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada
maka informasi baru tersebut harus
dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang
memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang ia ketahui sebelumnya.
Dua Dimensi Belajar Bermakna Menurut Ausubel
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan
kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi
atau materi pelajaran itu disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan
atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika
peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan
dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya
jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan
struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Empat Tipe Belajar Menurut Ausubel
1. Belajar
dengan penemuan yang bermakna
2.Belajar
dengan penemuan tidak bermakna
3.Belajar
menerima yang bermakna
4.Belajar
menerima yang tidak bermakna
Faktor- Faktor
Yang Mempengaruhi Belajar Bermakna
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas,
dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu
tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan
arti-arti yang timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif
itu; demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif
itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti yang sahih dan jelas atau
tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika
struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur
kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
e. Developmental approach
Menurut
Piaget, tahap perkembangan terdiri dari :
Tahap Sensorimotor:
- Kecerdasan ini ditunjukkan melalui aktivitas motorik tanpa menggunakan simbol-simbol.
- Pengetahuan tentang dunia terbatas karena didasarkan pada interaksi fisik / pengalaman.
- Anak-anak mendapatkan objek permanen sekitar 7 bulan.
- Pembangunan fisik (mobilitas) memungkinkan anak untuk mulai mengembangkan kemampuan intelektual baru.
- Beberapa simbolik (bahasa) kemampuan yang dikembangkan pada akhir tahap ini.
(Saler dan Edginton, 2008)
Tahap Pra-Operasional:
·
Kecerdasan ditunjukkan melalui penggunaan simbol-simbol,
penggunaan bahasa dewasa, dan memori dan imajinasi dikembangkan.
- Berpikir dilakukan dalam nonlogical, cara nonreversable.
- Dominan Berpikir egosentris
Tahap Operasional konkrit :
·
Kecerdasan ini
ditunjukkan melalui manipulasi logis dan sistematis simbol yang berkaitan
dengan benda-benda konkrit.
- Pemikiran operasional berkembang (tindakan mental yang bersifat reversibel).
- Pemikiran egosentris berkurang.
Tahap OperasionalFormal:
·
Kecerdasan ini
ditunjukkan melalui manipulasi logis dari simbol yang berkaitan dengan
konsep-konsep abstrak.
- Pada awal periode ini ada kembali ke pemikiran egosentris.
- Banyak orang dewasa tidak pernah mencapai tahap ini.
Menurut
Vygotsky, teori perkembangan anak adalah sebagai berikut :
Vygotsky Zona Pengembangan
proksimal(ZPD), adalah daerah antara apa
yang seseorang dapat mencapai perkembangan dalam hal pemecahan masalah
pada titik tetap dalam waktu (snapshot), dan apa yang berpotensi merekacapai
melalui pemecahan masalah dengan bantuan seseorang yang lebih mampu
(pembangunan berkelanjutan). (Vygotsky, dikutip dalam Miller, 2002).
Untuk Piaget, ZPD ini mirip dengan bergerak dari satu dari empat tahap
tentang perkembangan ke depan. 'Zona' untuk Piaget akan berkembang (yang
sedang berlangsung) atribut yang terkait dengan setiap tahap, dari dimulainya
kesimpulan. Piaget juga hipotesis bahwa manusia menggunakan struktur kognitif
untuk mencapai dan mengembangkan pengetahuan. Struktur kognitif adalah
bagaimana kita menghadapi dan menafsirkan dunia untuk menimba ilmu. Bentuk yang
paling penting dari pengetahuan bagi Piaget akan pengetahuan operasi, yang
berkaitan dengan mengetahui tentang perubahan. (Campbell, 2006).
Oleh karena itu, untuk Piaget, mencapai pengetahuan operasi ini mirip
dengan orang yang sedang dalam ZPD tersebut. Dia melihat struktur kognitif
sebagai organik dan dinamis, seperti Vygotsky ZPD, di mana pelajar terus maju
dalam akuisisi keterampilan pemecahan masalah, dan karenanya pembangunan
(Campbell, 2006).
ZPD bergantung pada prompt, model, petunjuk, pertanyaan terkemuka, dll
untuk membantu pelajar kemajuan perkembangan. Piaget berpendapat bahwa ini
adalah identik dengan gagasan sendiri akomodasi dan asimilasi, keduanya
merupakan cara untuk memasukkan pengetahuan ke dalam struktur kognitif.
Oleh karena itu Piaget akan melihat ZPD sebagai prinsip perkembangan
suara, karena kedua gagasan mengandalkan 'membangun pengetahuan, meskipun
melalui mekanisme yang berbeda (asimilasi dan akomodasi vs petunjuknya, dll).
Namun, Piaget tidak setuju dengan Vygotsky tentang dampak budaya pada
ZPD. Sebagai tahap teori tidak faktor dalam aspek budaya pada
pengembangan , Piaget akan menunjukkan bahwa
teorinya bersifat universal, dan bukan pada budaya tertentu.
Pada tahap-tahap perkembangan tersebut diperlukan scaffolding yang
tepat bagi anak agar dapat mengoptimalkan kemampuan mereka.
Applebee (1986,
seperti dikutip dalam Foley) mengidentifikasi lima kriteria untuk scaffolding yang efektif.
1. Intensionalitas
: Tugas memiliki tujuan yang jelas secara keseluruhan untuk pelajar yang
membutuhkan kontribusi individu untuk keseluruhan.
2 Ketepatan : tugas instruksional harus
membangun pengetahuan sebelumnya dan harus tepat menantang untuk siswa.
3 Struktur : Lingkungan belajar di terstruktur
untuk menyajikan pendekatan yang tepat untuk tugas itu dan menyebabkan urutan alami
pemikiran dan bahasa.
4 Kolaborasi : Peran utama guru adalah
kolaboratif daripada evaluatif sebagai tugas yang diselesaikan bersama-sama
dalam proses interaksi instruksional
5 Internalisasi : Sebagai mahasiswa
menginternalisasi prosedur baru, perancah eksternal untuk kegiatan secara
bertahap
f. Representation
and discovery
Menurut Sund
”discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu
konsep atau prinsip”. Proses mental tersebut ialah mengamati, mencerna,
mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20).
Sedangkan
menurut Jerome Bruner ”penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam
mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu”.
Dengan demikian di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah
belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah
atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan
(Markaban, 2006:9).
Model
penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator. Guru membimbing siswa
dimana ia diperlukan. Dalam model ini, siswa didorong untuk berpikir sendiri,
menganalisis sendiri sehingga dapat ”menemukan” prinsip umum berdasarkan bahan
atau data yang telah disediakan guru (PPPG, 2004:4)
Model
penemuan terbimbing atau terpimpin adalah model pembelajaran penemuan yang
dalam pelaksanaanya dilakukan oleh siswa berdasarkan petunjuk-petunjuk guru.
Petunjuk diberikan pada umumnya berbentuk pertanyaan membimbing (Ali, 2004:87).
Ciri utama
belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada
siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada.
Tujuan Pembelajaran Discovery Learning
Bell (1978) mengemukakan beberapa
tujuan spesifik dari pembelajaran dengan penemuan, yakni sebagai berikut:
a.
Dalam
penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam
pembelajaran. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi siswa dalam pembelajaran
meningkat ketika penemuan digunakan.
b.
Melalui
pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi
konkrit maupun abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate)
informasi tambahan yang diberikan
c.
Siswa juga
belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya
jawab untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
d.
Pembelajaran
dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif,
saling membagi informasi, serta mendengar dan menggunakan ide-ide orang lain.
e.
Terdapat
beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep
dan prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.
f.
Keterampilan
yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih
mudah ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar
yang baru.
g. Constructivist
approach (meliputi PBL Design, Evaluation
in Instructional Design Kirkpatrick Level Model, Evaluation
Constructivist Learning)
Pendekatan
konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana
pengetahuan disusun dalam pemikiran pelajar. Pengetahuan dikembangkan secara
aktif oleh pelajar itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang
disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha
pelajar itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada pelajar. Hal
tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan
pembelajaran yang lama, dimana guru hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa
adanya usaha terlebih dahulu dari siswa itu sendiri.
Merrill mengemukakan asumsi-asumsi konstruktivisme
adalah sebagai berikut:
- Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman;
- Pembelajaran adalah sebuah interpretasi personal terhadap dunia;
- Pembelajaran adalah sebuah proses aktif yang di dalamnya makna dikembangkan atas dasar pengalaman;
- Pertumbuhan konseptual datang dari negosiasi makna, pembagian perspektif ganda, dan perubahan bagi representasi internal kita melalui pembelajaran kolaboratif;
- Pembelajaran harus disituasikan dalam seting yang realistis; pengujian harus diintegrasikan dengan tugas dan bukan sebuah aktivitas yang terpisah.
h. Technological
epproach (meliputi, The
Effective Web Design Paradigm, User-Centred, Differentiated
Instruction and Understanding by Design)
Merupakan suatu teori pembelajaran yang menggunakan pendekatan teknologi
sebagai mtode maupun media pembelajaran. Teori ini meliputi, The Effective Web Design Paradigm, User-Centred, Differentiated
Instruction and Understanding by Design. Teori ini terlihat pada
kombinasi yang kuat dari tiga model pengajaran / pembelajaran yang berbeda;
Memahami by Design (UBD), Instruksi Differentiated (DI) dan Universal Desain
Pembelajaran, (UDL). Dengan mendefinisikan dan menguraikan kekuatan dari model
pembelajaran individual, menjadi jelas bahwa bersama-sama mereka membentuk
sebuah pendekatan pengajaran yang kuat dan holistik.
UBD memenuhi kebutuhan untuk standar isi dan menjawab pertanyaan:
". Apa yang kita ajarkan" Dengan peningkatan ekspektasi konten di
semua tingkatan kelas serta pengujian standar pemerintah yang membandingkan
tingkat prestasi sekolah; mengajar di kelas telah terpengaruh dengan cara yang
tidak sepenuhnya bermanfaat bagi pembelajaran. Guru membutuhkan model yang
menyumbang standar tetapi juga menunjukkan bagaimana pembelajaran dan pemahaman
dapat mengatasi standar konten serta mengembangkan basis informasi yang kuat.
Memahami dengan desain menyelesaikan tujuan ini.
DI melihat pada bagaimana dan di mana
kita mengajar siswa kita, berfokus pada praktek-praktek terbaik untuk
masing-masing peserta didik. Selain harapan konten adalah sulitnya memenuhi
kebutuhan beragam kelas hari ini. Bahasa, budaya, jenis kelamin, kesenjangan
ekonomi, motivasi, cacat, kepentingan pribadi dan gaya belajar serta lingkungan
rumah hanya beberapa dari banyak variabel yang membawa siswa ke sekolah dengan
mereka. Variabel-variabel ini dapat membuat tidak efektif bahkan kurikulum
terbaik jika kebutuhan beragam kelas tidak terpenuhi. Instruksi dibedakan dapat
menawarkan kerangka desain kurikulum yang dapat mengakomodasi perbedaan guru
melihat di kelas.
UDL adalah teori pembelajaran yang telah
dikembangkan oleh Rose dan Meyer, yang berusaha untuk memastikan bahwa
lingkungan belajar, termasuk kurikulum, penilaian dan pengajaran dan alat
belajar mempromosikan belajar dan menghilangkan hambatan untuk belajar. Universal
Desain adalah istilah yang diciptakan oleh Ron Mace pada tahun 1960 diterapkan
pada desain "bebas hambatan" atau arsitektur diakses yang akan
menguntungkan semua. Konsep ini dimulai sebagai Ron Mace mencari metode untuk
memperbaiki kehidupan bagi penyandang cacat. Namun, metode ini ditemukan secara
universal menguntungkan dan Prinsip Tujuh dari Universal Desain yang menulis.
Desainer yang universal mulai bekerja dengan "user" dalam pikiran
Peta pikiran teori
Posisi guru
|
Posisi siswa
|
Pengaruh
|
Cara belajar
|
|
Social kognitive
approach
|
Model
|
Peniru
|
Lingkungan
|
Interaksi
Mengamati
Modelling
|
Construktivism
approach
|
Fasilitator
|
Penemu
|
Konteks, konten, dan skill,
Lingkungan
|
Proses
Membangun sendiri
Interaksi
Kegiatan sosial
Kolaborasi
|
Soacial formation
|
Fasilitator
|
Pengambil informasi
Konektor
|
Hubungan
Lingkungan
|
Menghubungkan
Mengambil keputusan
|
Meaningful learning
|
Fasilitator
|
Penemu
|
Lingkungan sekitar
|
Praktek langsung
Observasi
Menemukan
|
Cognitif
information processing
|
Fasilitator
|
Pengambil dan pemroses
informasi
|
Lingkungan
Sumber belajar
|
Menghubungkan
|
Behaviorisme
|
Sumber ilmu
|
Empty vessel
|
Guru
Sekolah
|
Trial and error
Stimulus-respon
Reward n punishmen
|
Social approach
|
Model
Fasilitator
|
Peniru
Konektor
|
Lingkungan
|
Modelling
Interaksi
|
Developmental
approach
|
Fasilitator
|
Pengambil informasi
|
Belajar sesuai tahap
perkembangan
|
Asimilasi, akomodasi, dan
ekuilibrium
Membangun pengetahuan
Menemukan
|
Discovery and
representation
|
Fasilitator
|
Penemu
|
Lingkungan
|
Menemukan dan membangun
pengetahuan
Menghubungkan
|
Technological
approach
|
User
Pemberi tugas
Upload
|
User
Penemu
Pengamat
|
Teknologi
Lingkungan
Web
Internet
Informasi
|
User
Download
Menghubungkan
|
DAFTAR
PUSTAKA
Abras, C., Maloney-Krichmar, D., Preece, J. (2004). User-centered
design. W. Encyclopedia of Human-Computer Interaction. Thousand Oaks:
Sage Publications. Retrieved January 25, 2008 from http://www.ifsm.umbc.edu/~preece/Papers/User-centered_design_encyclopedia_chapter.pdf
Anderson, T. (2004). Chapter 2: Toward a theory of online learning
theory and practice of online learning (Anderson, T., & Elloumi, F., Eds.)
(33-59). Retrieved November 20, 2007, from http://cde.athabascau.ca/online_book/ch2.html
Bates, Reid. (2004) A critical analysis of evaluation practice: The
kirkpatrick model and the practice of beneficence. Evaluation and Program
Planning, 27, 341-347.
Chapman, Alan. (2007) Kirkpatrick’s Learning and Training Evaluation
Model. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.businessballs.com/kirkpatricklearningevaluationmodel.htm
Clark, Donald. (2007). Instructional system development – evaluation
phase. Retrieved Feb 7, 2009 from http://www.skagitwatershed.org/~donclark/hrd/sat6.html
Dearden, A. (2008, Spring2008). User-Centered Design Considered Harmful
(with apologies to Edsger Dijkstra, Niklaus Wirth, and Don Norman). Information
Technologies & International Development, 4(3), 7-12. Retrieved January 25,
2009, from Business Source Complete database.
Dick, Walter. (2002). Chapter 11 Evaluation in instructional design:
The impact of kirkpatrick’s four-level model. In Robert Reiser & John
Dempsey (Eds.), Trends and issues in instructional design and technology (pp.
145-153). Prentice Hall.
Drexler, W. (2008, November 26). Networked Student [Video file].
Retrieved from http://www.youtube.com/watch?v=XwM4ieFOotA
Donald L. Kirkpatrick [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://www.amanet.org/editorial/webcast/2007/effective-training.htm
Downes, S. (2008). Placed to go: Connectivism & Connective
Knowledge. Innovate 5 (1). Retrieved from http://www.innovateonline.info/index.php?view=article&id=668
Ertmer, P. A., Newby, T. J. (1993). Behaviorism, cognitivism,
constructivism: Comparing critical features from an instructional design
perspective. Performance Improvement Quarterly, 6 (4), 50-70.
Four Levels of Evaluation [image file]. Retrieved Feb 27, 2009 from http://c2workshop.typepad.com/
Gonzalez, C. (2004). The role of blended learning in the world of
technology. Retrieved from http://www.unt.edu/benchmarks/archives/2004/september04/eis.htm
Gredler, M. E. (2005). Learning and instruction: Theory into practice
(5th ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education
Heinich, R., Molenda, M., Russel, J.D., & Smaldino, S.E. (1996).
Instructional media and technologies for learning. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall.
Katz-Hass, R. & Trutchard, A. (1998). Ten Guidelines for
User-Centred Web Design. Usability Interface, Vol 5, No. 1.
Kaufman, R., Keller, J. & Watkins, R. (1995). What works and what
doesn’t: Evaluation Beyond Kirkpatrick. Performance and Instruction,
35(2), 8-12.
Kirkpatrick, D. L. (1996). Techniques for Evaluating training programs.
In Donald P. Ely, & Tjeed Plomp (Eds). Classic writings on instructional
technology (pp.119-141). Libraries Unlimited.
Lankshear, C., & Knobel, M. (2008). The “twoness” of learn 2.0:
Challenges and prospects of a would-be new learning paradigm. Closing keynote
presented at the Learning 2.0: From Preschool to Beyond, Montclair State
University, Montclair, NJ.
Norman, D. (1988). The Pychology of
Everyday Things. New York: Doubleday.
Ormrod,
J.E., (2012). Human Learning 6’th
Edition. Boston: Pearson.
Ormrod,
J.E., (2008). Psikologi Pendidikan:
Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid 1. (Terjemahan Amitya Kumara).
Jakarta: Erlangga. (Buku asli diterbitkan tahun 2008).
Schunk,
D.H., Pintrich, P. R., and Meece, J.L. (2010). Motivation in Education : Theory, Research, and Applications 3 ‘th
Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Siemens, G. (2005). Connectivism: Learning as network-creation. American
Society for Training & Development. Retrieved from http://www.astd.org/LC/2005/1105_seimens.htm
Siemens, G. (2004). Connectivism: A Learning Theory for the Digital
Age. Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism.htm
Siemens, G. (n.d.). About: description of connectivism.
Retrieved from http://www.connectivism.ca/about.html
Siemens, G. (2006). Connectivism – Learning Theory or Pastime for
the Self-Amused? Retrieved from http://www.elearnspace.org/Articles/connectivism_self-amused.htm
Sloman, Martyn. (2008). The value of learning. ASTD 2008 International
Conference and Exposition. Retrieved on Feb 15, 2009 from http://www.astd2008.org/PDF/Speaker%20Handouts/ice08%20handout%20M120.pdf
University of Alberta. Complexity and education. Retrieved February 25,
2008, from http://www.complexityandeducation.ualberta.ca/glossary.htm.
Langganan:
Postingan (Atom)